27/02/15

2. PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

2. PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Menjelang Pengakuan Kedaulatan
Republik Indonesia yang baru berdiri mewarisi kondisi ekonomi yang kacau akibat pendudukan Jepang. Awal kemerdekaan, kondisi ekonomi dilanda inflasi. Penyebabnya adalah mata uang Jepang beredarnya mata uang Jepang yang tidak terkendali. Pemerintah RI belum bisa menyatakan bahwa mata uang Jepang tidak berlaku, karena belum memiliki uang sendiri sebagai penggantinya. Untuk sementara pemerintah mengakui beredarnya 3 mata uang yaitu mata uang De Javanche Bank, mata uang Hindia Belanda dan mata uang Jepang. Situasi perekonomian diperparah dengan adanya blokade laut oleh Beland sejak kedatangannya kembali ke Indonesia bersama sekutu. Dalam upaya untuk mengatasi hal tersebut pemerintah RI melalui menteri keuangan (Ir. Surachman) mengeluarkan kebijakan “pinjaman nasional” yang disetujui oleh BPKNIP. Pinjaman itu direncanakan akan mencapai Rp. 1.000.000.000. yang dibagi dalam dua tahap. Pinjaman akan dibayar kembali selambatnya dalam waktu 40 tahun. Ternyata kebijakan pemerintah mendapat sambutan dan dukungan yang baik dari rakyat. Buktinya pemerintah berhasil mengumpulkan uang sejumlah pegadaian. Sukses yang dicapai ini merupakan suatu ukuran bagi besarnya kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dan aparatnya. Pada 6 Maret 1946 Belanda mengumumkan pemberlakuan uang baru yaitu mata uang NICA untuk menggantikan mata uang Jepang. Pemerintah RI mengingatkan kepada masyarakat bahwa di wilayah RI hanya berlaku 3 mata uang sebagaiman yang telah diumumkan pada 1 Oktober 1945. sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan uang kertas baru yang dinamai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Sejak saat itu terjadi penukaran 1.000 mata uang Jepang ditukar dengan Rp. 1 mata uang ORI. Kebijakan pemerintah ini cukup memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia kendatai belum memperbaiki keadaan seluruhnya.
Pemerintah RI selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 dan mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC). BTC berhasil mengadakan kesepakatan dagang dengan perusahaan swasta Amerika Serikat-Isbrantsen Inc yang bersedia membeli gula, karet, teh dll dari Indonesia. Konferensi ekonomi pertama (Feb 1946) dan kedua (6 Mei 1946) diselenggaarakan dalam upaya untuk menanggulangi masalah ekonomi. Kebijakan yang berhasil dibuat antara lain yaitu mendirikan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (PPBM-kemudian sekarang dikenal dengan Bulog), pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada 19 Januari 1947 atas usul dr. AK Gani (menteri kemakmuran). Kebijakan Planning Board antara lain: menyatakan semua banguan umum, perkebunan dan industri yang sebelum perang milik negara jatuh ke tangan pemerintah RI. Bangunan umum vital milik asing akan dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi. Perusahaan modal asing akan dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian RI-Belanda. Ternyata usaha Planning Board ini belum membawa hasil yang diharapkan, sehingga menteri urusan bahan makanan IJ Kasimo merencanakan kegiatan ekonomi selama lima tahun yang terkenal dengan Plan Kasimo. Isi Plan Kasimo adalah anjuran untuk memperbanyak kebun bibit dan padi unggul. Penyembelihan hewan pertanian harus dicegah dan tanah kosong harus ditanami kembali, transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera.

b. Kebijakan-kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
1). Gunting Syarifudin
Adalah pemotongan nilai mata uang (sanering) diatas Rp. 2,50 menjadi setengahnya, ini dilakukan pada 20 Maret 1950 oleh menteri keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara.
2). Program Benteng (Benteng Group)
Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengusaha-pengusaha pribumi agar dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah mencoba berperan dalam membantu memberikan bantuan kredit dan memberikan bimbingan konkret. Gagasan Sumitro tersebut selanjutnya dituangkan dalan program kabinet Natsir. Program benteng dimulai pada April 1950 dan selama 3 tahun tidak kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit, akan tetapi program ini tidak berjalan mulus karena karena pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dan mentalitas pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif.
3). Nasionalisasi de Javasche Bank
Ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat merugikan bangsa Indonesia. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa suatu peraturan pemerintah Indonesia tentang De Javasche Bank dan pemberian kredit dari De Javasche Bank kepada pemerintah Indonesia harus dikonsultasikan kepada pemerintah Belanda. Pada 19 Juni 1951 kabinet sukiman membentuk panitia nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan keputusan pemerintah RI No.122 dan 123 tanggal 12 Juli 1951 pemerintah menghentikan Dr. Houwink sebagai presiden De Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syarifudin Prawiranegara sebagai presiden De Javasche Bank yang baru. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
4). Sistem Ekonomi Ali Baba
Atas prakarsa Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. kabinet ini memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi dengan mengutamakan pertumbuhan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Dalam sistim ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba sebagai pengusaha non pribumi. Untuk memajukan ekonomi Indonesia perlu ada kerja sama antara pengusaha pribumi dan non pribumi. Pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduk jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-uasaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan asing. Program ini tidak berjalan mulus karena pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

5). Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintah kabinet burhanudin harahap Indonesia mengirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antara Indonesia dengan Belanda. Misi dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan finansial ekonomi yaitu:
- Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan
- Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
- Hubungan finek didasarkan pada UU nasional dan tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangi rencana persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak dengan melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Februari 1956. hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Pada 3 Mei 1956 presiden Soekarno menandatangai undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sementara itu pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
6). Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, Pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro Perancang Negara untuk merencanakan pembangunan jangka panjang dengan Ir. Djuanda sebagai menteri perancang nasional.
Bulan Mei 1956 biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. RUU rencana pembangunan ini disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada tahun 1957 akibat perubahan politik dan ekonomi sasaran dan prioritas RPLT ini diubah dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). RPLT tidak berjalan dengan baik karena:
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot
- Perjuangan membebaskan Irian barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolah ekonomi
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah, sehingga banyak daerah yang melakukan kebijakan ekonominya sendiri-sendiri
7). Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya Munap. Ir. Djuanda memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembanguan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas. Selain itu masih belum redanya ketegangan politik antara pusat dengan daerah menjadi penyebab macetnya rencana pembangunan tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar