SEJARAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA / INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Makalah
Sejak
zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad
ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan
Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1 Teori Tentang Negeri Asal Islam di Indonesia
Negeri asal masuknya agama Islam
ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat yang masih sekarang masih menimbulkan
perdebatan. Terdapat tiga teori tentang negeri asal masuknya agama Islam di
Indonesia, yaitu:
1. Teori India
a. Teori Pertama
Teori ini menyatakan bahwa Islam
Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar. Pendapat ini dipelopori oleh
Pijnapel, yang menelusuri Islam Indonesia kepada pengikut mazhab Syafi’i dari
Gujurat dan Malabar. Apalagi kawasan ini sering disebut dalam sejarah purbakala
Indonesia. Pendapat ini diikuti oleh ilmuan di belakangnya seperti W. F.
Stutterheim, J. C. Van Leur, T. W. Arnold, Bernard H. M. Vlekke, Schrieke, dan
Clifford Geertz.
b. Teori Kedua
Teori yang menyatakan bahwa Islam
Indonesia berasal dari India selatan, tepatnya dari Koromandel. Pendapat ini
dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Dia memperlihatkan pengaruh India Selatan
dalam bidang sastera, tasawuf populer dan legenda-legenda agama suku-suku
bangsa muslim di kepulauan Indonesia. Pendapat ini diperkuat oleh G. E.
Marrison yang menyatakan bahwa Islam datang dari pantai Koromandel. Alasannya,
Cambay pada tahun 1393 sebagai kota Hindu dan Gujarat baru jatuh ke tangan
Muslim pada tahun 1297. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Muslim sudah
mapan selama berabad-abad di India Selatan, tanpa mempunyai kekuasaan politik,
sebelum ekspansi kesultanan Delhi pada awal abad ke-14. Di samping itu, ia
menyatakan bahwa mazhab Syafi’i tidak ghalib di Gujarat. Seluruh Hikayat
Raja-raja Pasai mempunyai latar belakang yang sangat diwarnai oleh India
Selatan.
2. Teori Benggali
Teori Benggali berpendapat bahwa
Islam Indonesia berasal dari Benggali (Bangladesh sekarang). Pendapat ini
dikembangkan oleh S. Fatimi. Dengan bersandar kepada pendapat Marcopolo dan
Tome Pires. S. Fatimi menyimpulkan bahwa Islamnya kerajaan Samudera Pasai
berasal dari Benggali. Hal itu dikuatkannya dengan sudah terjalinnya hubungan
niaga antara Benggali dan Samudera Pasai sejak zaman purba. Di samping itu,
Benggali ditaklukkan orang-orang Muslim dan diislamkan pada kira-kira tahun
1200, satu abad sebelum Gujarat dan India Selatan.
Dalam
bukunya Tome Pires juga menggambarkan tentang Samudera Pasai. Di Samudera Pasai
banyak bermukim saudagar Moor dan India, yang terpenting adalah orang-orang
Benggala. Keterangan Pires inilah yang merupakan titik pangkal pendapat bahwa
Islam di Indonesia diimpor dari Benggala.
3. Teori Arab
Adapun teori yang menyatakan Islam
Indonesia berasal dari Arab, pertama kali dilontarkan oleh Crawfurd (1820),
Keyzer (1859) kemudian diikuti oleh Niemann (1861), de Hollander (1981), dan
Veth (1878). Crawfurd menyatakan, bahwa Islam Indonesia berasal dari Mesir,
dengan alasan Mesir menganut Mazhab Syafi’i ; Hollander berpendapat dari
Hadramut juga dengan alasan negeri itu menganut mazhab Syafi’i ; sedangkan Veth
hanya menyebutkan bahwa Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab, tanpa
menyebutkan tempat asal. Di Indonesia pendapat ini dipopulerkan oleh Hamka.
Teori yang dikembangkan Hamka ini mendapatkan perhatian dan pembenaran dalam
seminar-seminar yang membahas sejarah masuknya Islam di Indonesia, baik
nasional maupun lokal.
Ilmuan
lainnya adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dalam karangannya yang berjudul
Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dia menyatakan: “ Teori bahwa Islam itu
datangnya dari India dan dibawa serta dan disebarkan oleh orang-orang India
harus kita tolak dan singkirkan pengenaannya terhadap sejarah asal-usul Islam
di sini ”. Dia berpendapat bahwa dalam teori India itu penekanan didasarkan
atas ciri-ciri “luar”. Dia menganjurkan agar penelusuran asal-usul Islam di
sini dilakukan melalui kenyataan-kenyataan “dalam”. Dan tulisan serta bahasa
dan kesusasteraan yang benar-benar merupakan ciri yang sah untuk memutuskan
perkara ini. Menurutnya, tidak satupun laporan, rujukan atau sebutan yang
merujuk kepada penulis India atau kepada kitab yang berasal dari India dan
digubah oleh orang India. Mubaligh-mubaligh lama Islam di daerah ini pun
terdiri dari orang-orang Arab.
B. Teori Tentang Masa Kedatangan Islam
di Indonesia
1. Teori Pertama
Teori pertama, menyatakan bahwa
Islam sudah datang di Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7/8 M.
Di anatara ilmuan yang menganut teori ini adalah : J. C. Van Leur, T. W.
Arnold, Hamka, Abdullah bin Nuh dan D. Shahab.
Di
antara alasan yang dijadikan sandaran mereka adalah bahwa pada 674 di pantai
Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Bangsa Arab
sudah aktif dalam lapangan perniagaan laut sejak abad-abad pertama Masehi.
Mereka telah lama mengenal jalur perdagangan laut melalui Samudera Indonesia
2. Teori Kedua
Teori kedua, menyatakan bahwa
Islam datang di Indonesia pada abad ke-13. Di antara sejarawan yang menganut
teori ini adalah C. Snouck Hurgronje. Pendapat ini kemudian diikuti oleh banyak
sejarawan, seperti W. F. Stutterheim dan Bernard H. M. Vlekke. Pendapat ini di
dasarkan pada batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni
al-Malik al-Saleh yang wafat pada 1297. Alasan lainnya adalah keterangan
Marcopolo yang menyatakan bahwa di Perlak pada tahun 1292, penduduknya telah
memeluk agama Islam. Namun, dia menyatakan bahwa Perlak merupakan satu-satunya
daerah Islam di Nusantara ketika itu.
2. Kedatangan
Islam dan Cara Penyebarannya
Kedatangan Islam dan cara
penyebarannya di kalangan golongan bangsawan dan rakyat umumnya, ialah dengan
cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan para pedagang,
mubaligh-mubaligh atau orang-orang alim.
Indonesia sekarang merupakan
negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Penyebaran Islam di Indonesia
diakui dengan cara-cara damai. Saluran-saluran islamisasi dan cara
pelaksanaannya tentu tidak sedikit. Saluran-saluran itu saling berkaitan,
sehingga saluran yang satu memperkuat saluran yang lain. Misalnya saluran
perdagangan diperkuat dengan saluran perkawinan, saluran-saluran tasawuf
diperkuat dengan saluran pendidikan, dan seterusnya.
Saluran-saluran
itu diantaranya adalah:
1. Saluran Perdagangan
Saluran perdagangan sejalan
dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga abad ke-16. Pada saat
itu pedagang-pedagang muslim turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan
di kawasan Indonesia. Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi
dimungkinkan karena dalam Islam tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang
dan kewajiban dakwah. Proses Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat
oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati
pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang
mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula-mula mereka berdatangan di pusat-pusat
perdagangan dan di antaranya kemudian ada yang tinggal, baik untuk sementara
waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi
perkampungan, yang disebut Pekojan. Lingkungan mereka makin luas dan dengan
cara demikian lambat laun timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan
kerajaan-kerajaan muslim.
2. Saluran Perkawinan
Melalui saluran perkawinan antara
pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi juga merupakan bagian yang erat
berjalinan dengan Islamisasi. Perkawinan merupakan salah satu saluran
Islamisasi yang lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar, ulama
atau golongan lain, dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati, karena
status sosial-ekonomi, terutama politik raja-raja, adipati-adipati, dan
bangsawan-bangsawan pada waktu itu turut mempercepat proses Islamisasi.
3. Saluran Tasawuf
Tasawuf juga merupakan salah satu
saluran penting dalam proses Islamisasi. Para guru terekat memegang peranan
penting juga dalamorganisasi masyarakat kota-kota pelabuhan. Mereka adalah
guru-guru pengembara yang mengajarkan teosofi yang telah bercampur, yang dikenal
luas oleh bangsa Indonesia tetapi yang sudah menjadi keyakinannya. Mereka mahir
dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Mereka siap
untuk memelihara kelanjutan dengan masa lampau dan menggunakan istilah-istilah
dan anasir-anasir budaya pra-Islam dalam hubungan Islam. Di antara ahli-ahli
tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran
mistik Indonesia-Hindu adalah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani di
Aceh, Syekh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa.
4. Saluran Pendidikan
Kecuali melalui Tasawuf,
Islamisasi juga dilakukan melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam
sudah berdiri sejak pertama kali Islam datang ke Indonesia. Di Aceh
lembaga-lembaga pendidikan Islam itu mengambil bentuk yang beragam sehingga
memunculkan beberapa nama, seperti meunasah, dayah dan rangkang. Di Sumatera
Barat dikenal lembaga pendidikan Islam surau. Di Kalimantan dikenal lembaga
pendidikan Islam langgar. Sementara di Jawa dikenal pondok dan pesantren. Belum
lagi kalau dimasukkan ke dalam kriteria lembaga pendidikan Islam
pengajian-pengajian al-Qur’an yang berlangsung di rumah-rumah alim ulama.
Di
lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut dilangsung pembinaan calon guru-guru
agama, kyai-kyai atau ulama-ulama. Setelah menamatkan pendidikan, mereka
kembali ke kampung masing-masing atau ke desa-desanya, tempat mereka menjadi
tokoh keagamaan.
5. Saluran Kesenian
Saluran dan cara Islamisasi lain
dapat pula melalui cabang-cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat dan
ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Dengan kesenian ini dimaksudkan
bahwa jenis-jenis kesenian pra-Islam tetap dipertahankan, sehingga penduduk
Indonesia tidak merasa asing masuk ke dalam lingkungan Islam. Di antara karya
seni yang terkenal dijadikan alat Islamisasi adalah pertunjukan wayang. Dia
tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi minta agar para penonton
mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat, yang berarti dengan demikian orang
menjadi masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita
Mahabharata dan Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh-tokohnya
diganti menjadi nama-nama pahlawan Islam.
3. Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau
dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada
umumnya pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah
Arab, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain.
Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan, peperangan
ataupun paksaan.
Ada
beberapa pendapat para ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki
Islam di Indonesia, di antaranya yaitu:
A. Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa
agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara
(Tapanuli) pada abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya
terhadap sebuah makam Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H
(670 M).
B. Hamka, berpendapat bahwa agama Islam
masuk ke Jawa pada abad ke-7 M(674). Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang
menceritakan tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima
dan menaruh pundi-pundi berisi emas ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk
menguji kejujuran, keamanan dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja
Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam.
C. Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa
agama Islam masuk di Sumatra Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada
waktu itu telah datang di Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah
mempunyai pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan
pesat ke seluruh Indonesia. Hal itu di
tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang berciri khas
Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu berisi keterangan
tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun pada tahun
1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di antaranya Sultan
Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda
dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand
dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang
Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir
Arab.
4
Perkembanagn islam di indonesia
1. Sumatera
a. Pantai Barat Pulau Sumatera
Sesuai dengan keputusan “Seminar
Masuknya Islam ke Indonesia” yang diadakan di Medan tahun 1963, maka tempat
yang mula-mula masuknya Islam di Pulau Sumatera adalah “Pantai Barat Sumatera”.
Dari sana berkembang ke daerah-daerah lainnya. Beberapa ahli yang berpendapat
tentang masuknya Islam di Sumatera pada abad Ke-7 M itu yaitu: Sayed Alwi bin
Tahih al Haddad Mufsi, H. M. Zaenuddin, Zainal Arifin Abbas
b. Samudera Pasai
Agama Islam berkembang di
Indonesia mula-mula di Pasai Aceh Utara. Para pembawa agama Islam ini mula-mula
berda’wah di kalangan rakyat biasa lewat perdagangan. Dengan kesopanan dan
keramahan orang Arab yang berda’wah itu, maka penduduk Pasai sangat terkesan
dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam. Begitu pula Raja dan para pemimpin
negeri masuk Islam.
Maka
berdirilah Kerajaan Islam pertama kali di Pasai. Pada saat itu, tiba masanya
perkembangan Islam khususnya di daerah Aceh dan Sumatera Utara untuk memperluas
penyiaran Islam. Maka berkembanglah Islam dari Pasai ke Malaka, Tapanuli, Riau,
Minangkabau, Kerinci dan ke daerah-daerah lainnya. Kerajaan Islam Pasai berdiri
sekitar tahun 1297, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Serambi Makkah”.
c. Sumatera Barat
Setelah agama Islam berkembang di
Pasai, tidak lama sesudah itu tersebar pula ke daerah-daerah lain yaitu ke
Pariaman Sumatera Barat. Islam datang ke Pariaman dari Pasai dengan melalui
laut “Pantai Barat Pulau Sumatera”. Ulama yang terkenal membawa Islam ke
Pariaman itu adalah Syekh Burhanuddin. Penyiaran agama Islam dilakukan secara
pelan-pelan dan bertahap, sebab adat di Sumatera Barat sangat kuat.
Sebagai
bukti bahwa agama Islam diterima oleh masyarakat Sumatera Barat dengan kerelaan
dan kesadaran adalah dengan populernya pepatah yang mengatakan : “Adat bersendi
syara”, syara bersendi Kitabullah”. Jadi adat istiadat yang sangat dipegang
teguh oleh masyarakat Sumatera Barat itu adalah “Adat yang bersendikan Islam”
artinya Islam menjadi dasar adat.
d. Sumatera Selatan
Sekitar tahun 1440 agama Islam
masuk ke Sumatera Selatan. Mubaligh yang paling berjasa membawa Islam ke
Sumatera Selatan adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Arya Damar yang terkenal
dengan nama Aryadillah (Abdillah) adalah Bupati Majapahit di Palembang waktu
itu, kemudian Raden Rahmat (Sunan Ampel) memberi saran kepada Abdillah agar
bersedia menyebarkan agama Islam di Sumatera Selatan. Atas rahmat dan petunjuk
Allah, saran Raden Rahmat tersebut dilaksanakan oleh Ardillah, sehingga agama
Islam di Sumatera Selatan berkembang dengan baik.
2. Jawa
Menurut berita Tionghoa pada tahun
1416 M di tanah Jawa sudah banyak orang Islam, tetapi orang asing. Hal ini
dapat dikaitkan dengan wafatnya seorang mubaligh Islam yang mula-mula
menyiarkan Islam di Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419)
Sebelum
Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa, rupanya telah banyak pedagang-pedagang
Islam yang berniaga sambil menyiarkan agama Islam. Hal ini dikuatkan dengan
diketemukan makam dari seorang wanita Islam yang bernama Fatimah binti Maimun
yang wafat pada tahun 475 H/1082 M dimakamkan di Gresik.
Dalam
mengupas tersebarnya Islam di Jawa tidaklah lengkap rasanya bila tidak
mengemukakan “Wali Songo” sebagai mubaligh-mubaligh ternama di tanah Jawa. Para
wali itu sangat besar jasanya dalam penyiaran Islam di Jawa, walaupun banyak
rintangan yang mereka hadapi, namun dengan ketekunan, kebijaksanaan dan
perjuangan mereka, Islam bisa masuk ke pelosok-pelosok tanah Jawa.
3. Kalimantan
a. Kalimantan Selatan
Di pulau Kalimantan, agama Islam
mula-mula masuk di Kalimantan Selatan. Nama kotanya adalah Banjarmasin. Pembawa
agama Islam ke Kalimantan Selatan ini adalah para pedagang bangsa Arab dan para
mubaligh dari pulau Jawa. Perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan itu
sangat pesat dan mencapai puncaknya setelah kerajaan Majapahit runtuh tahun
1478.
b. Kalimantan Barat
Daerah lainnya di Kalimantan yang
dimasuki agama Islam adalah kalimantan Barat. Islam masuk ke Kalimantan Barat
itu mula-mula di daerah Muara Sambas dan Sukadana. Dari dua daerah inilah baru
kemudian tersebar ke seluruh Kalimantan Barat. Pembawa agama Islam ke daerah
Kalimantan Barat adalah para pedagang dari Johor (Malaysia) dan Mubaligh dari
Palembang (Sumatera Selatan).
Sultan
Islam yang pertama (tahun 1591) di Kalimantan Barat berkedudukan di Sukadana
yaitu Panembahan Giri Kusuma. Sedang Sultan Sukadana yang kedua Sultan Muhammad
Safiuddin (1677).
4. Sulawesi
Islam
masuk ke Sulawesi pada awal abad XVI M dimulai dari Sulawesi Selatan. Hal ini
dikaitkan bahwa pada tahun 1540 M di Sulawesi Selatan telah dijumpai
pemeluk-pemeluk Islam, terutama suku Bugis dan Makasar. Kerajaan di Sulawesi
Selatan yang mula-mula menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ialah
Kerajaan Goa dan Tallo. Raja Tallo yang merangkap pekerjaan sebagai Mangkubumi
kerajaan Goa, dan menerima Islam sebagai agamanya adalah Malingkrang Daeng
Manyari. Sesudah memeluk agama Islam, beliau bergelar Sultan Abdullah Awwalalul
Islam. Selanjutnya Raja Goa ke XIV Baginda I Manggerengi Daeng Manrabia juga
memeluk Islam, lalu berganti nama menjadi Sultan Alaudin. Dengan masuk Islamnya
raja-raja Tallo dan Goa, maka rakyat segera mengikutinya. Dan dalam waktu dua
tahun seluruh rakyat Goa dan Tallo di-Islamkan. Adapun mubaligh yang berjasa
dalam meng-Islamkan raja dan rakyat Goa dan Tallo adalah Abdul Qadir Khatib
Tunggal, berasal dari Minangkabau dan diperkirakan pernah menjadi murid Sunan
Giri.
5. Nusa Tenggara
Pada
tahun 1540 agama Islam masuk pula ke Nusatenggara. Masuknya agama Islam ke
Nusatenggara dibawa oleh para mubaligh dari Bugis (Sulawesi Selatan) dan
mubaligh dari pulau Jawa.
Agama
Islam berkembang di Nusatenggara mula-mula di daerah Lombok yang penduduknya
disebut suku Sasak. Agama masuk Lombok dengan damai atas jasa dari
mubaligh-mubaligh orang Bugis yang
masyhur pandai berlayar dan berdagang itu. Secara berangsur-angsur akhirnya
penduduk Lombok mayoritas beragama Islam. Dari daerah Lombok, secara
pelan-pelan selanjutnya tersebar pula ke daerah-daerah Sumbawa dan Flores
Yang
berjasa besar untuk meng-Islamkan penduduk Nusa tenggara itu ialah
pedagang-pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan, dan ada pula pedagang dan
mubaligh dari Jawa. Peng-Islaman di Nusatenggara dengan lancar dan dapat
mencapai prosentasi yang tinggi ialah di Lombok dan Sumbawa.
Lebih
dari itu Sumbawa berhasil mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Bima.
Pengembangan agama Islam di Bima sejak awal abad ke-16, penyiarannya datang
dari dua arah yaitu dari Jawa dan dari Sulawesi Selatan.
Yang
berhasil meng-Islamkan penduduk Flores ialah : kaum muslimin Bugis dengan jalan
mempelajari Bahasa Flores dengan menyesuaikan adat istiadat di sana. Dengan
demikian penduduk Flores banyak yang masuk Islam sekalipun mereka sudah
beragama Katholik.
5. Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
A. Masa Kesulthanan
Untuk
melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan
Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di
daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti
daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di
kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk
pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna
memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan
tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika
Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram
ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya.
Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
B. Masa Penjajahan
Ditengah-tengah
proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang
Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris.
Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang
pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada
mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang
karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu
ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
1. Bidang agama murni atau ibadah;
2. Bidang sosial kemasyarakatan; dan
3. Politik.
Terhadap
bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat
Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum
Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi
kemandekan hukum Islam.
Sedangkan
dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum
Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Gerakan dan organisasi Islam
Akibat
dari “resep politik Islam”-nya Snouck
Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya
semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda,
yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik
menjinakan melalui asosiasi.
Namun,
ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu
saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik
baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh
karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan
tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil
perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta
gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat
dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah
pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam
itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh praja) ditolak
dari keanggotaan itu.
Persaingan
antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara
pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir
yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama
pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari
pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan
perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama
yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
2. Masyumi, yakni singkatan dari Majelis
Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober
1943.
3. Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan
Allah), semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin
oleh Zainul Arifin.
6 Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di
Indonesia
Proses
penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para
ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak
hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam
pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra
Arab.
b. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe,
Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh
pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin
Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin
Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad
bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.
c. Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama
terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari
San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama
sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
d. Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi
Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang,
Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh
ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga
belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di
Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi
Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas
Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada
tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia
banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang
tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di
kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan
menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
e. Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki
peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para
wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga
pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah
penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan
Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama
yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun
wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
7 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
1.
Ilmu-ilmu Keagamaan
Perjuangan
itu dilakukan, diberbagai aspek antara lain pendidikan, kesehatan, dakwah,
sosial, politik hingga teknologi. Setidaknya ada dua cara yang dilakukan oleh
para ulama dalam menumbuhkembangkan ajarannya yaitu sebagai berikut :
a.
Membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah
yang lebih luas.
b.
Melalui karya-karya tulisan yang tersebar dan dibaca di seluruh Nusantara.
Karya-karya itu mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu agama di
Indonesia pada masa itu.
Ilmuwan-ilmuwan
muslim di Indonesia tersebut, antara lain :
a.
Hamzah Fansuri (sufi) dari Sumatera Utara. Karyanya yang berjudul Asrar Al
Arifin fi Bayan ila Suluk wa At Tauhid.
b.
Syamsuddin As Sumatrani dengan karyanya berjudul Mir’atul Mu’min (Cermin Orang
Beriman).
c.
Nurrudin Ar Raniri, yaitu seorang yang berasal dari India keturunan Arab
Quraisy Hadramaut. Karya-karyanya meliputi ilmu fikih, hadis, akidah, sejarah,
dan tasawuf yang diantaranya adalah As Sirat Al Mustaqim (hukum), Bustan As
Salatin (sejarah), dan Tibyan fi Ma’rifat Al Adyan (tasawuf).
d. Abdul
Muhyi yang berasal dari Jawa. Karyanya adalah kitab Martabat Kang Pitu
(Martabat yang Tujuh).
e. Sunan
Bonang dengan karyanya Suluk Wijil
f.
Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati
g. Syekh
Yusuf Makasar dari Sulawesi (1629-1699 M). Karya-karyanya yang belum
diterbitkan sekitar 20 buah yang masih berbentuk naskah.
h. Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari (1812 M) seorang ulama produktif yang menulis kitab
sabitul Muhtadil (fikih).
i. Syekh
Nawawi Al Bantani yang menulis 26 buah buku diantaranya yang terkenal Tafsir Al
Muris
j. Syekh
Ahmad Khatib dari Minangkabau (1860-1916 M)
2.
Arsitektur Bangunan
Indonesia
yang terdiri dari ribuan pulau memiliki penduduk yang juga terdiri dari beragam
suku, bangsa, adat, kebiasaan dan kebudayaan masing-masing. Oleh karena itu
perbedaan latar belakang tersebut, arsitektur bangunan-bangunan Islam di
Indonesia tidak sama antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Beberapa
hasil seni bangunan pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia
antara lain. Masjid-masjid kuno di Demak, Sandang Duwur Agung di Kasepuhan
Cirebon, Masjid Agung Banten dan Masjid Baiturahman di Aceh.
Beberapa
masjid masih memiliki seni masih memiliki seni bangunan yang menyerupai
bangunan merupai pada zaman Hindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung
pola kalamakara, mihrab dan bentuk mastaka atau memolo menunjukkan hubungan
yang erat dengan kebudayaan agama Hindu, seperti Masjid Sendang Duwur.
8
Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan, Masa Kemerdekaan dan Masa Perkembangan
1. Masa
penjajahan
Jauh
sebelum Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Nusantara telah
memeluk agama Islam yang ajarannya penuh kedamaian, saling menghormati, dan
tidak bersikap buruk sangka terhadap bangsa asing. Semula bangsa asing seperti
Portugis dan Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk menjadikan
Indonesia sebagai koloni di bawah kekuasaan dan jajahannya. Portugis berhasil
meluaskan wilayah dagangnya dengan menguasai Bandar Malaka di tahun 1511
sehingga akhirnya mereka dapat masuk ke Maluku, Ternate dan Tidore.
Portugis
juga mematikan aktivitas perdagangan kaum muslim Indonesia di daerah lainnya
seperti Demak. Pada tahun 1527 M, Demak di bawah pimpinan Fatahillah berhasil
menguasai Banten. Banten dan Aceh kemudian menjadi pelabuhan yang ramai
menggantikan Bandar Malaka.
Dilandasi
semangat tauhid dan hasil pendidikan yang diperoleh dari pesantren menyebabkan
semakin bertambahnya kader pemimpin dan ulama yang menjadi pengayom masyarakat.
Kaum bangsawan dan kaum adat yang semula tidak memahami niat para ulama untuk
mempertahankan Indonesia dari cengkeraman penjajah secara perlahan bersatu padu
untuk mempertahankan Nusantara dari ekspansi Belanda.
Contoh
perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1.
Tuanku Imam Bonjol melalui Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat.
2.
Pangeran Diponegoro (1815-1838) melalui Perang Diponegoro di Jawa Tengah.
3.
Perang Aceh (1873-1904) di bawah pimpinan Panglima Pilom, Teuku Cik Ditiro, Teuku
Umar, dan Cut Nyak Din.
2. Masa
Kemerdekaan
Umat
Islam kemudian mengganti perjuangannya melawan penjajahan dengan strategi atau
jalan mendirikan organisasi-organisasi Islam yang diantaranya sebagai berikut :
a.
Syarikat Dagang Islam
Syarikat
Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam berdiri pada tahun
1905 dipimpin oleh H. samanhudi, A.M. Sangaji, H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus
Salim. perkumpulan ini berdiri dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup
bangsa ndonesia, terutama dalam dunia perniagaan.
b.
Jam’iatul Khair
Berdiri
pada tahun 1905 M di Jakarta adalah pergerakan Islam yang pertama di pulau
Jawa. Anggotanya kebanyakan keturunan (peranakan) Arab.
c. Al
Irsyad
Al
Irsyad adalah organisasi Islam yang didirikan tahun 1914 M oleh para pedagang
dan ulama keturunan Arab, seperti Syekh Ahmad Sorkali.
d.
Perserikatan Ulama
Gerakan
modernis Islam yang berdiri pada tahun 1911 M oleh Abdul Halim dan berpusat di
Majalengka Jawa Barat. Organisasi ini diakui keberadaannya oleh Belanda tahun
1917 dan bergerak dibidang ekonomi dan sosial, seperti mendirikan panti asuhan
yatim piatu pada tahun 1930 M.
e.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
didirikan di Yogyakarta 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan bertepatan
tanggal 8 Zulhijah 1330. Muhammadiyah bukan merupakan partai politik, tetapi
gerakan Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan.
f.
Nahdatul Ulama
Didirikan
pada bulan Januari 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bertujuan membangkitkan
semangat para ulama Indonesia dengan cara meningkatkan dakwah dan pendidikan
karena saat itu Belanda melarang umat Islam mendirikan sekolah-sekolah yang
bernafaskan Islam seperti Pesantren.
3. Masa
Perkembangan
Di masa
perkembangan atau setelah memperoleh kemerdekaan, umat Islam juga memiliki
peranan yang sangat penting dalam upaya memajukan bangsa dan negara.
Peran-peran tersebut antara lain dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut.
a.
Membentuk Departemen Agama
Tujuan
dan fungsi Departemen Agama dirumuskan sebagai berikut:
1)
Mengurus serta menuntut pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing
perguruan-perguruan agama.
2)
Mengikuti dan memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan agama dan
keagamaan.
3)
Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
b. Di
Bidang Pendidikan
Salah
satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar
di berbagai pelosok daerah. Lembaga ini dipimpin oleh seorang kyai dan saat ini
sudah banyak muncul pesantren yang bersifat modern. Artinya, pendidikan Islam
tersebut memiliki kurrikulum dan jenjang-jenjang pendidikan mulai dari tingkat
dasar (ibtidaiyah), menengah (tsanawiyah), dan tingkat atas (aliyah), bahkan
sampai ke tingkat perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang telah menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN).
c.
Majelis Ulama Indonesia
Selain
Departemen Agama, pemerintah Indonesia juga mendirikan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), yaitu suatu wadah kerja sama antara pemerintah dan ulama dalam urusan
keorganisasian, khususnya agama Islam. Majelis Ulama Indonesia bergerak dalam
bidang dakwah dan pendidikan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat berdiri pada
bulan Oktober 1962 yang memiliki tujuan awal antara lain sebagai berikut :
1)
Pembinaan mental dan agama bagi masyarakat.
2) Ikut
ambil bagian dalam penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta berencana
dalam rangka demokrasi terpimpin.
0 komentar:
Posting Komentar